Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Oktober 2014

Cerpen Si Mbah


Santri Kampus
(Oleh : Mohammad Badruz Zaman)

Aku mengendarai motor keluar parkiran melewati jalanan kampus. Suara motor tuaku yang melaju diatas paving semakin menambah keramaian. Semilir angin mengurangi gerah akibat panasnya musim kemarau dan jam menunjukkan waktu dzuhur segera tiba. Laju motor kupercepat sedikit agar segera sampai di kos yang hanya berjarak 10 menit dari kampus yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Kutikungkan motor masuk ke jalan Gerbang Lor yang cukup ramai dengan segala kegiatan warga dan aktivitas mahasiswa yang lain. Oh, iya perkenalkan namaku Zainuman. Panggil saja Zen. Teman-temanku memanggilku “Zet”. Bukan apa-apa. Hanya karena nama akun media sosial Facebook. Kuberi nama akunku Z-Man. Hah, tidak masalah bagiku daripada dijuluki dengan nama aneh-aneh yang lain. Aku mahasiswa angkatan tua di sebuah Institut di Surabaya. Hari ini aku baru saja menghadiri rapat kegiatan sosial yang akan diadakan akhir pekan ini. Laju motor kuperlambat karena kendaraan yang melintas cukup padat. Tak berapa lama terdengar suara adzan dari masjid disebelah kanan jalan yaitu Masjid Besar Al-Ibrahim. Diatas motor mulutku komat kamit menjawab setiap bait indah kumandang adzan. Walaupun suara pelantunnya tidak seindah rekaman adzan di televisi maupun radio. Aku sedikit tertawa. Bukan menertawakan sang muadzin. Bukan, tetapi menertawakan diriku sendiri. Apakah aku merasa suara adzanku indah? Jawaban tidak adalah hal yang timbul dalam hati dan pikiranku. Sombong sekali aku jika merasa sebaliknya.
Akhirnya sampai juga di kos. Ada parkiran motor bagi kami yang membawa kendaraan roda dua. Kuparkir motor jauh dari gerbang. Kumandang adzan telah selesai. Setelah selesai membaca doa aku bergegas naik ke lantai atas. Memang kamarku ada di lantai atas tepatnya lantai dua. Kulepas sepatu dan kubuka pintu kamarku. Kuucapkan salam  dan basmalah sebelum masuk kamar. Hal ini merupakan aturan yang kubuat sendiri setelah mendapatkan wejangan dari seorang Kyai kharismatik asal Lamongan. Hingga menjadi kebiasaanku tiap masuk kamar. “Alhamdulillah, huh…panas sekali.” Aku menghela nafas sambil meraih tombol kipas angin. Kutekan tombol nomor 2. Terdengar lantunan puji-pujian tanda sholat jamaah belum dimulai. Kusambar peci coklat diatas meja dan bergegas pergi memenuhi panggilan shalat dhuhur. Lima puluh meter untuk sampai masjid dengan langkah yang kupercepat karena masih berhadats. Bismillah, Kubasuh tangan dan kaki yang menjadi salah satu sunnah sebelum berwudhu. Lalu aku mulai berwudhu…

Iqamah dikumandangkan tanda shalat jamaah akan dimulai. Aku mengambil shaf paling depan agak sebelah kanan dibelakang Imam. “Lurus dan rapikan shaf kalian karena hal itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.” Imam menyuruh kami untuk merapikan shaf sebelum shalat dimulai. Kami segera merapikan shaf dan imam bersiap. Allaahu akbar…

Assalaamu’alaikum warahmatullah… Alhamdulillah, shalat dhuhur berjamaah telah kami tunaikan. Selesainya lantunan dzikir-dzikir dan doa yang dipimpin oleh Imam menandai bubarnya jamaah. Lain halnya denganku yang masih duduk bersila sambil memejamkan mata. Inilah ritual kebiasaan yang kulakukan setelah berdoa. Mulutku melantunkan shalawat kepada junjungan kami kaum Muslimin Nabiyullah Muhammad Rasulullah SAW. Beliau bersabda :”Siapa yang membaca shalawat kepadaku, Allah akan membalasnya dengan 10 kebaikan, menghapus 10 dosanya dan derajatnya ditambah 10 kali.” Itulah salah satu khasiat membaca shalawat. Akan tetapi seperti yang diajarkan oleh guruku semua kulakukan hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala.

Setelah melakukan ritualku aku bergegas pulang. Perutku dari tadi sudah berisik minta dimanjakan. Kutarik dua uang lima ribuan dari dalam dompet dan segera meluncur ke warung yang ada persis di depan kosku. Aku membeli nasi ditambah es teh untuk melepas dahaga dengan total enam ribu lima ratus. Aku meminta untuk dibungkus saja karena teringat dhawuh guru untuk menghindari makan di warung. Karena kalau dipikir memang benar himbauan guruku tersebut. Kesucian dan kehigienisan piring dan gelas kurang terjaga karena air yang digunakan untuk mencuci digunakan berulang kali tanpa diganti sebelum benar-benar keruh. Hiiiyyy…
Aku cuci tangan sebelum masuk kamar dan segera kusantap makanan yang telah sedari tadi ditunggu si perut keceng. Ditengah makan aku ingat kalau tadi belum berdoa. Akhirnya kuhentikan makanku dan segera kubaca “Bismillaahi awwaaluhu wa aakhiruhu”. Hal ini juga yang telah diajarkan guru kepadaku. Kulanjutkan makanku sampai habis tak bersisa. Tak lupa kuminum es teh. Kugigit pojokan plastik lalu kukecup dan kuhisap. Srupuuut… Alhamdulillah… Awak waras…
Aku memejamkan mata dan merebahkan tubuhku ke tembok. Menikmati sisa-sisa rasa makanan yang tertinggal dimulutku. Tiba-tiba ada yang memanggilku.

“Zen… Zen…!!! Bangunkan temanmu itu!!!” Kata Pak Guru menyuruh Joko yang ada didepan beliau.
“Zet… Zet… Bangun woiii…!!! Waduh ngiler lagi. Bangun Zet !!!” Sikut Joko yang ada disamping kiriku.

Aku tersentak kaget ketika membuka mata kulihat Pak Guru melotot kepadaku. Aku teringat bahwa pagi ini aku sedang ngaji di rumah Pak Guru. Pengajian yang dimulai tiap ba’da shubuh. Kuusap mata dan mulutku yang belepotan. Pak Guru hanya tertawa dan melanjutkan penjelasannya. Pelajaran hari ini adalah Fiqih dan menjelaskan tentang hal yang membatalkan wudhu.

“Sampai mana?” Bisikku pada Udin yang ada disebelah kananku.
“Ckckckck… Halaman baliknya Zet. Sudah sampai pasal tentang hal-hal yang membatalkan wudhu dan sekarang poin yang kedua.” Bisik Udin sambil tersenyum ngece.
“Waduh… benar-benar pulas tidurku Din. Sampai ketinggalan banyak ini.” Kataku monyong.
“Sudah jangan bicara. Simak tuh…!!!” Udin jengkel.
“Maaf, maaf, saya khilaf.”

            Pak Guru menjelaskan bahwa yang membatalkan wudhu ada enam. Dan sekarang sudah sampai pada poin kedua yaitu posisi tidur yang tidak menetapkan pantat pada bumi atau tidak dalam posisi duduk.

“Jadi kalau orang yang tidur dalam posisi duduk, bokongnya menempel kuat ke bumi maka wudhunya tidak batal. Mengerti semua?”
“Mengerti Pak!!!" Jawab semuanya serentak.
“Mengerti Le?” Tanya beliau kepadaku.
Injeh, mengerti Pak.” Jawabku sambil menunduk.
“Tapi kalau ngiler bagaimana hayooo?”

Semuanya celingukan memandang satu sama lain kecuali aku. Karena merasa tersindir aku semakin menenggelamkan kepalaku, malu. Pak Guru senyum membiarkan para muridnya memendam pertanyaan besar. Tidak lama kemudian beliau dhawuh :

Mboten batal. Tidak membatalkan wudhu.”Tegas beliau.
“Kecuali…” Beliau meneruskan penjelasannya.”Kalau posisi tidurnya tidak memakai bantal.”
“O...” Semuanya hampir serentak.
“Alasannya kenapa Pak?” Tanya Jarwo.
“Hayo, kenapa?”
“Karena air liur orang tidur tanpa bantal lebih bau Pak.” Sahut Mamat.
“Benar tapi kurang pas.”
“…….” Semuanya diam.
“Karena air liur yang keluar berasal dari lambung. Posisi lambung lebih tinggi daripada mulut sehingga air liur dari lambung keluar. Sehingga air liurnya najis. Sedangkan bila menggunakan bantal maka air liur yang keluar berasal dari mulut dan tidak najis.” Jawab Pak Guru.
“O…” Semuanya kembali serentak.
“A… O… A… O…” Sahut Pak Guru.
“Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Mari kita berdoa agar apa yang kita pelajari ini mendapatkan barakah, manfaat dan ridha Allah SWT. Al-Faatihah…”

            Setelah selesai berdoa kami pamit menyalami Pak Guru satu persatu. Aku terakhir yang menyalami Pak Guru. Tiba-tiba beliau menjewer telingaku.

“Aduh, aduh, ampun Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi Pak. Saya tidak akan ngiler lagi Pak.” Sambil memejamkan mata aku minta ampun.
“Cuci sajadah ini dan besok bawa kemari !!!” Perintah Pak Guru.
“Iya Pak. Maafkan saya Pak.” Aku memohon ampun.
Le, bangun Le.” Beliau menyuruhku bangun.
“Ampun Pak. Maaf.” Aku berteriak kecil.
“Heh, bangun, bangun Le.” Suaranya seperti bukan Pak Guru.

Aku membuka mata dan ternyata aku masih duduk bersila didalam Masjid. Bapak ta’mirlah yang membangunkanku. Aku segera mengusap mata dan mulutku yang belepotan. Dan dengan sempoyongan bergegas mencuci muka berharap bukan mimpi lagi.
           
            Setelah benar-benar sadar aku merenung. Menghayati apa artinya mimpi yang terlihat nyata dan terasa sekali bagiku. Sambil berjalan pulang kupikirkan terus hal itu. Kuletakkan tangan ke dadaku dan kurasakan jantungku berdebar hebat. Ada apa dengan mimpi tadi dan ada apa denganku. Ada sesuatu yang ganjil. Haruskah aku menemui beliau sedangkan sudah hampir dua minggu aku tidak ngaji karena lebih mementingkan kegiatan kampus. Apakah karena hal ini aku bermimpi seperti itu. Ah, mungkin saja karena itu. Iya, pasti karena itu.

            Aku tidak langsung pulang ke kos. Kulangkahkan kakiku ke warung depan kos karena memang perutku mulai terasa lapar.

“Tolong bungkus nasi campurnya satu ya Buk!” Pintaku sambil tersenyum.
“Pakai telur dadar saja, hehe…” Pintaku lagi.

Memang telur dadar adalah kesukaanku. Aku mulai berpikir kalau tidak ngaji aku hanya berstatus mahasiswa sedangkan jika aku ngaji maka statusku bukan hanya mahasiswa tetapi juga seorang santri. Karena itu aku  bertekad untuk berusaha tidak meninggalkan ngaji hanya karena skripsi, ngelab dan kegiatan lain.

“Ini Nak nasinya. Minumnya sekalian?” Bu Faijah membuyarkan pikiranku.
“Lain kali saja Buk. Masih ada air galon di kamar. Ini Berapa?”
“Lima ribu saja.” Kata beliau tersenyum sambil mengedipkan mata.
“I, iya sebentar.”

Aku menggeledah kantongku dan ternyata kosong semua.

“Maaf Bu uang saya ketinggalan. Saya belum membawa uang.”
“iya tidak apa, nanti bisa kesini lagi. Bawa saja dulu.”
“Mohon maaf Bu, saya bawa dulu ya?”
“Iya Nak.” Jawab beliau sambil tersenyum.

Aku segera keluar dari warung. Kulangkahkan kaki memasuki gerbang rumah Ibu Kos. Sambil melangkah aku berpikir bahwa bahasa Santri mungkin tidak sekeren bahasa mahasiswa.  Bagi mahasiswa mungkin ini “mimpi” tapi menurut bahasaku ini merupakan “petunjuk” akan kuatnya ikatan batin antara murid dengan guru ruhani.

“Maafkan saya guru. Maafkan saya. Maaf.” Gumamku dalam hati.

(Cerpen pertama saya yang saya ikutkan lomba...semoga menjadi inspirasi, membuka hati  berhasil menjadi juara... Allaahumma aamiiin...

1 komentar:

  1. Casino | Dr. Maryland
    Experience the beauty 사천 출장샵 and excitement 전주 출장마사지 of a casino in Maryland, with 의왕 출장마사지 slots, table games and more at our 동두천 출장마사지 casino! Our casino floor is expansive,  Rating: 진주 출장마사지 4.1 · ‎4 reviews

    BalasHapus