Santri Kampus
(Oleh : Mohammad Badruz Zaman)
Aku
mengendarai motor keluar parkiran melewati jalanan kampus. Suara motor tuaku
yang melaju diatas paving semakin menambah keramaian. Semilir angin mengurangi
gerah akibat panasnya musim kemarau dan jam menunjukkan waktu dzuhur segera
tiba. Laju motor kupercepat sedikit agar segera sampai di kos yang hanya
berjarak 10 menit dari kampus yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Kutikungkan
motor masuk ke jalan Gerbang Lor yang cukup ramai dengan segala kegiatan warga
dan aktivitas mahasiswa yang lain. Oh, iya perkenalkan namaku Zainuman. Panggil
saja Zen. Teman-temanku memanggilku “Zet”. Bukan apa-apa. Hanya karena nama
akun media sosial Facebook. Kuberi nama akunku Z-Man. Hah, tidak masalah
bagiku daripada dijuluki dengan nama aneh-aneh yang lain. Aku mahasiswa
angkatan tua di sebuah Institut di Surabaya. Hari ini aku baru saja menghadiri
rapat kegiatan sosial yang akan diadakan akhir pekan ini. Laju motor
kuperlambat karena kendaraan yang melintas cukup padat. Tak berapa lama
terdengar suara adzan dari masjid disebelah kanan jalan yaitu Masjid Besar
Al-Ibrahim. Diatas motor mulutku komat kamit menjawab setiap bait indah
kumandang adzan. Walaupun suara pelantunnya tidak seindah rekaman adzan di
televisi maupun radio. Aku sedikit tertawa. Bukan menertawakan sang muadzin.
Bukan, tetapi menertawakan diriku sendiri. Apakah aku merasa suara adzanku
indah? Jawaban tidak adalah hal yang timbul dalam hati dan pikiranku. Sombong
sekali aku jika merasa sebaliknya.
Akhirnya
sampai juga di kos. Ada parkiran motor bagi kami yang membawa kendaraan roda
dua. Kuparkir motor jauh dari gerbang. Kumandang adzan telah selesai. Setelah
selesai membaca doa aku bergegas naik ke lantai atas. Memang kamarku ada di
lantai atas tepatnya lantai dua. Kulepas sepatu dan kubuka pintu kamarku.
Kuucapkan salam dan basmalah sebelum
masuk kamar. Hal ini merupakan aturan yang kubuat sendiri setelah mendapatkan
wejangan dari seorang Kyai kharismatik asal Lamongan. Hingga menjadi
kebiasaanku tiap masuk kamar. “Alhamdulillah, huh…panas sekali.” Aku
menghela nafas sambil meraih tombol kipas angin. Kutekan tombol nomor 2.
Terdengar lantunan puji-pujian tanda sholat jamaah belum dimulai. Kusambar peci
coklat diatas meja dan bergegas pergi memenuhi panggilan shalat dhuhur. Lima
puluh meter untuk sampai masjid dengan langkah yang kupercepat karena masih
berhadats. Bismillah, Kubasuh tangan dan kaki yang menjadi salah satu
sunnah sebelum berwudhu. Lalu aku mulai berwudhu…
Iqamah
dikumandangkan tanda shalat jamaah akan dimulai. Aku mengambil shaf paling
depan agak sebelah kanan dibelakang Imam. “Lurus dan rapikan shaf kalian
karena hal itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.” Imam menyuruh
kami untuk merapikan shaf sebelum shalat dimulai. Kami segera merapikan
shaf dan imam bersiap. Allaahu akbar…
Assalaamu’alaikum
warahmatullah… Alhamdulillah, shalat dhuhur
berjamaah telah kami tunaikan. Selesainya lantunan dzikir-dzikir dan doa yang
dipimpin oleh Imam menandai bubarnya jamaah. Lain halnya denganku yang masih
duduk bersila sambil memejamkan mata. Inilah ritual kebiasaan yang kulakukan
setelah berdoa. Mulutku melantunkan shalawat kepada junjungan kami kaum
Muslimin Nabiyullah Muhammad Rasulullah SAW. Beliau bersabda :”Siapa yang
membaca shalawat kepadaku, Allah akan membalasnya dengan 10 kebaikan, menghapus
10 dosanya dan derajatnya ditambah 10 kali.” Itulah salah satu khasiat
membaca shalawat. Akan tetapi seperti yang diajarkan oleh guruku semua
kulakukan hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Setelah
melakukan ritualku aku bergegas pulang. Perutku dari tadi sudah berisik minta
dimanjakan. Kutarik dua uang lima ribuan dari dalam dompet dan segera meluncur
ke warung yang ada persis di depan kosku. Aku membeli nasi ditambah es teh
untuk melepas dahaga dengan total enam ribu lima ratus. Aku meminta untuk
dibungkus saja karena teringat dhawuh guru untuk menghindari makan di
warung. Karena kalau dipikir memang benar himbauan guruku tersebut. Kesucian
dan kehigienisan piring dan gelas kurang terjaga karena air yang digunakan
untuk mencuci digunakan berulang kali tanpa diganti sebelum benar-benar keruh.
Hiiiyyy…
Aku
cuci tangan sebelum masuk kamar dan segera kusantap makanan yang telah sedari
tadi ditunggu si perut keceng. Ditengah makan aku ingat kalau tadi belum
berdoa. Akhirnya kuhentikan makanku dan segera kubaca “Bismillaahi awwaaluhu
wa aakhiruhu”. Hal ini juga yang telah diajarkan guru kepadaku. Kulanjutkan
makanku sampai habis tak bersisa. Tak lupa kuminum es teh. Kugigit pojokan
plastik lalu kukecup dan kuhisap. Srupuuut… Alhamdulillah… Awak waras…
Aku
memejamkan mata dan merebahkan tubuhku ke tembok. Menikmati sisa-sisa rasa
makanan yang tertinggal dimulutku. Tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Zen… Zen…!!!
Bangunkan temanmu itu!!!” Kata Pak Guru menyuruh Joko yang ada didepan beliau.
“Zet… Zet…
Bangun woiii…!!! Waduh ngiler lagi. Bangun Zet !!!” Sikut Joko yang ada
disamping kiriku.
Aku tersentak
kaget ketika membuka mata kulihat Pak Guru melotot kepadaku. Aku teringat bahwa
pagi ini aku sedang ngaji di rumah Pak Guru. Pengajian yang dimulai tiap
ba’da shubuh. Kuusap mata dan mulutku yang belepotan. Pak Guru hanya
tertawa dan melanjutkan penjelasannya. Pelajaran hari ini adalah Fiqih dan
menjelaskan tentang hal yang membatalkan wudhu.
“Sampai mana?”
Bisikku pada Udin yang ada disebelah kananku.
“Ckckckck…
Halaman baliknya Zet. Sudah sampai pasal tentang hal-hal yang membatalkan wudhu
dan sekarang poin yang kedua.” Bisik Udin sambil tersenyum ngece.
“Waduh…
benar-benar pulas tidurku Din. Sampai ketinggalan banyak ini.” Kataku monyong.
“Sudah jangan
bicara. Simak tuh…!!!” Udin jengkel.
“Maaf, maaf,
saya khilaf.”
Pak Guru menjelaskan bahwa yang
membatalkan wudhu ada enam. Dan sekarang sudah sampai pada poin kedua yaitu
posisi tidur yang tidak menetapkan pantat pada bumi atau tidak dalam posisi
duduk.
“Jadi kalau
orang yang tidur dalam posisi duduk, bokongnya menempel kuat ke bumi maka
wudhunya tidak batal. Mengerti semua?”
“Mengerti
Pak!!!" Jawab semuanya serentak.
“Mengerti Le?”
Tanya beliau kepadaku.
“Injeh, mengerti
Pak.” Jawabku sambil menunduk.
“Tapi kalau
ngiler bagaimana hayooo?”
Semuanya
celingukan memandang satu sama lain kecuali aku. Karena merasa tersindir aku
semakin menenggelamkan kepalaku, malu. Pak Guru senyum membiarkan para muridnya
memendam pertanyaan besar. Tidak lama kemudian beliau dhawuh :
“Mboten
batal. Tidak membatalkan wudhu.”Tegas beliau.
“Kecuali…”
Beliau meneruskan penjelasannya.”Kalau posisi tidurnya tidak memakai bantal.”
“O...” Semuanya
hampir serentak.
“Alasannya
kenapa Pak?” Tanya Jarwo.
“Hayo, kenapa?”
“Karena air
liur orang tidur tanpa bantal lebih bau Pak.” Sahut Mamat.
“Benar tapi
kurang pas.”
“…….” Semuanya
diam.
“Karena air
liur yang keluar berasal dari lambung. Posisi lambung lebih tinggi daripada
mulut sehingga air liur dari lambung keluar. Sehingga air liurnya najis.
Sedangkan bila menggunakan bantal maka air liur yang keluar berasal dari mulut
dan tidak najis.” Jawab Pak Guru.
“O…” Semuanya
kembali serentak.
“A… O… A… O…”
Sahut Pak Guru.
“Mungkin itu
saja yang bisa saya sampaikan. Mari kita berdoa agar apa yang kita pelajari ini
mendapatkan barakah, manfaat dan ridha Allah SWT. Al-Faatihah…”
Setelah selesai berdoa kami pamit
menyalami Pak Guru satu persatu. Aku terakhir yang menyalami Pak Guru.
Tiba-tiba beliau menjewer telingaku.
“Aduh, aduh,
ampun Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi Pak. Saya tidak akan ngiler lagi
Pak.” Sambil memejamkan mata aku minta ampun.
“Cuci sajadah
ini dan besok bawa kemari !!!” Perintah Pak Guru.
“Iya Pak.
Maafkan saya Pak.” Aku memohon ampun.
“Le,
bangun Le.” Beliau menyuruhku bangun.
“Ampun Pak.
Maaf.” Aku berteriak kecil.
“Heh, bangun,
bangun Le.” Suaranya seperti bukan Pak Guru.
Aku membuka
mata dan ternyata aku masih duduk bersila didalam Masjid. Bapak ta’mirlah yang
membangunkanku. Aku segera mengusap mata dan mulutku yang belepotan. Dan dengan
sempoyongan bergegas mencuci muka berharap bukan mimpi lagi.
Setelah benar-benar sadar aku
merenung. Menghayati apa artinya mimpi yang terlihat nyata dan terasa sekali
bagiku. Sambil berjalan pulang kupikirkan terus hal itu. Kuletakkan tangan ke
dadaku dan kurasakan jantungku berdebar hebat. Ada apa dengan mimpi tadi dan
ada apa denganku. Ada sesuatu yang ganjil. Haruskah aku menemui beliau
sedangkan sudah hampir dua minggu aku tidak ngaji karena lebih mementingkan
kegiatan kampus. Apakah karena hal ini aku bermimpi seperti itu. Ah, mungkin
saja karena itu. Iya, pasti karena itu.
Aku tidak langsung pulang ke kos.
Kulangkahkan kakiku ke warung depan kos karena memang perutku mulai terasa lapar.
“Tolong bungkus
nasi campurnya satu ya Buk!” Pintaku sambil tersenyum.
“Pakai telur
dadar saja, hehe…” Pintaku lagi.
Memang telur
dadar adalah kesukaanku. Aku mulai berpikir kalau tidak ngaji aku hanya
berstatus mahasiswa sedangkan jika aku ngaji maka statusku bukan hanya
mahasiswa tetapi juga seorang santri. Karena itu aku bertekad untuk berusaha tidak meninggalkan ngaji
hanya karena skripsi, ngelab dan kegiatan lain.
“Ini Nak
nasinya. Minumnya sekalian?” Bu Faijah membuyarkan pikiranku.
“Lain kali saja
Buk. Masih ada air galon di kamar. Ini Berapa?”
“Lima ribu
saja.” Kata beliau tersenyum sambil mengedipkan mata.
“I, iya
sebentar.”
Aku menggeledah
kantongku dan ternyata kosong semua.
“Maaf Bu uang
saya ketinggalan. Saya belum membawa uang.”
“iya tidak apa,
nanti bisa kesini lagi. Bawa saja dulu.”
“Mohon maaf Bu,
saya bawa dulu ya?”
“Iya Nak.”
Jawab beliau sambil tersenyum.
Aku
segera keluar dari warung. Kulangkahkan kaki memasuki gerbang rumah Ibu Kos.
Sambil melangkah aku berpikir bahwa bahasa Santri mungkin tidak sekeren bahasa
mahasiswa. Bagi mahasiswa mungkin ini
“mimpi” tapi menurut bahasaku ini merupakan “petunjuk” akan kuatnya ikatan
batin antara murid dengan guru ruhani.
“Maafkan saya
guru. Maafkan saya. Maaf.” Gumamku dalam hati.
(Cerpen pertama saya yang saya ikutkan lomba...semoga menjadi inspirasi, membuka hati berhasil menjadi juara... Allaahumma aamiiin...